بسم الله الرحمن الرحيم
Assalamualaikum...
“Saya setuju bahwa harga BBM harus naik”
Yup, setidaknya dari begitu banyak informasi dan alasan yang saya terima dan insyaAllah telah saya cerna dan pertimbangkan matang-matang, maka sampai detik ini saya masih setuju bahwa harga BBM harus naik.
Sebelum saya memberikan tanggapan mengenai alasan saya menyetujui kenaikan harga BBM, ada baiknya kita tinggalkan sejenak sisi humanis dan perasaan kita terlebih dahulu. Karena dalam hal ini saya akan berbicara 100% dalam tatanan logika dan rasio. Sebenarnya, bukannya saya mengajak untuk tidak menggunakan hati nurani, tapi saya hanya takut kalau kita terjebak dalam perdebatan yang tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Jadi please sekali lagi, hal ini membutuhkan pandangan yang Das Sein atau apa yang memang sebenarnya terjadi, bukan Das Sollen atau apa yang idealnya terjadi.
Oke, mengapa harga BBM harus naik??
Ada baiknya kita melihat permasalahan secara komprehensif, tidak secara parsial. Kita mulai dari melihat kondisi perekonomian dunia. Siapapun tidak dapat menafikan bahwa harga minyak dunia adalah salah satu fakta yang paling menyedot perhatian dunia saat ini. Harga minyak dunia terus melesat, atau bahkan lebih tepat disebut menggila. Kalau beberapa waktu lalu dunia panik hanya karena harga minyak dunia menyentuh rekor sampai $60/barel, maka sekarang harga $127/barel pun sudah dianggap biasa saja. Dan jangan kaget kalau dalam waktu dekat minyak akan menyentuh $200/barel. Hal ini sudah diperkirakan oleh banyak pengamat.
Sebenarnya apa yang membuat harga minyak melesat?
1. Dari sisi demand di jaman industrialis ini kebutuhan minyak terus meningkat tajam. Data terakhir yang saya tahu dunia membutuhkan minyak hampir 90 juta barel/hari dari 206 negara, dan untuk lima besar diduduki oleh Amerika, Cina, Jepang, Jerman, dan Rusia. Dan kebutuhan itu diperkirakan akan terus meningkat tajam terutama di Cina dan India yang pertumbuhan ekonominya sangat pesat. Namun, dari sisi supply, dunia hanya bisa menghasilkan minyak sekitar 80 juta barel/hari. Dari sini jelas bahwa hukum ekonomi yang sangat sederhana berlaku.
Demand > Supply = Harga naik
2. Peran dari kartel minyak OPEC yang notabenenya adalah organisasi negara pengekspor minyak yang hampir 40%. Dari OPEC sendiri tidak ada peningkatan supply yang cukup signifikan. Bahkan belum lama sekjen OPEC mengatakan bahwa supply minyak tidak akan ditambah karena khawatir akan ulah para spekulan. Akhirnya pasar terus menunggu OPEC meningkatkan supply, sedangkan OPEC tetap kekeuh. Akhirnya harga pun naik.
3. Keadaan politik negara-negara penghasil minyak dunia jelas punya peran yang penting. Contohnya Iran yang merupakan negara penghasil minyak ke-4 di dunia politiknya sedang guncang. Ada isu Iran akan diserang oleh Amerika. Belum lagi Irak yang insfrastukturnya baru saja hancur lebur diserang Amerika. Intinya keadaan negara-negara Timur Tengah sedang tidak stabil. Hal ini jelas mempengaruhi supply minyak dunia.
4. Reaksi pasar mengenai turunnya cadangan minyak di Amerika yang pasti akan mendorong kenaikan harga minyak berikutnya. Turunnya cadangan minyak juga terjadi di Eropa
5. Keadaan ekonomi di Amerika yang sedang memburuk. Setelah tragedi subprime mortgage kemarin, dollar Amerika terus melemah,, terutama terhadap Euro. Hal ini mendorong para pembeli di Amerika ramai-ramai membeli minyak karena dalam kurs dollar harga menjadi lebih murah.
6. Ulah para spekulan, terutama di Amerika. Suatu tindakan yang menurut saya sangat tidak pantas mereka lakukan di tengah keadaan perekonomian dunia yang sedang memburuk. Dengan uang yang mereka miliki, mereka bisa kapan saja membeli minyak dalam jumlah besar dan menahan atau menimbunnya terlebih dahulu sampai pasar panik karena minyak semakin langka. Dalam keadaan kritis ini, barulah mereka menjual minyak dengan bahasa yang kira-kira seperti ini, “Ayo-ayo!! Minyak langka.. ada yang mau beli minyak saya?? Tapi, harus berani bayar dengan harga tinggi!!”. Sungguh, sifat opportunis yang sangat menjengkelkan.
Lalu, apa hubungan antara naiknya harga minyak dunia dengan Indonesia? Jelas sangat berhubungan. Kalau waktu SD kita sangat dielu-elukan bahwa Indonesia sangat kaya akan minyak, sumber daya alam, dsb, tolong buang jauh-jauh pujian-pujian tersebut. Betul memang Indonesia sangat kaya akan sumber daya minyak, namun, ingat bahwa minyak yang kita miliki hanyalah minyak mentah (crude oil) yang tidak akan berarti apa-apa jika kita tidak bisa mengolahnya menjadi minyak yang siap pakai (refined). Dan inilah yang menjadi fakta di negara kita bahwa kita belum mampu mengolah minyak mentah menjadi minyak yang siap pakai (refined), atau meskipun mampu, biaya (cost) yang dibutuhkan untuk mengolahnya akan sangat mahal.
Maka secara matematis, menjual minyak mentah ke luar dan membeli minyak yang refined untuk memenuhi pasokan dalam negeri masih menjadi perhitungan yang paling menguntungkan. Implikasinya pun akan sangat jelas, kita harus membeli minyak di pasaran dunia dengan mengikuti harga yang akan terus berfluktuasi. Sebuah fakta lagi bahwa saat ini ternyata Indonesia telah menjadi net importir karena jumlah minyak yang dapat kita ekspor masih jauh lebih kecil dibanding kebutuhan dalam negeri yang harus dipenuhi. Berdasarkan informasi yang saya ketahui, minyak yang dapat kita hasilkan hanya sekitar 920 ribu barel/hari, sedangkan kebutuhannya sekitar 1,4 juta barel/hari.
Saat ini harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia masih di subisidi oleh pemerintah dengan jumlah yang terbilang sangat besar. Tahun ini saja dari sekitar Rp900 triliun dana APBN, Rp200 triliun harus kita gunakan untuk subsidi BBM. Itu pun masih menggunakan asumsi awal APBN dimana harga minyak dunia hanya $60/barel. Bayangkan, lebih dari seperlima anggaran negara harus dialokasikan untuk sesuatu yang sebenarnya hanya dinikmati oleh sebagian kecil golongan saja. Kenapa saya katakan sebagian kecil, karena ternyata para pengguna BBM hanyalah untuk orang-orang yang menggunakan kendaraan (motor, mobil, kendaraan umum) dan pelaku industri saja.
Memang, banyak rakyat yang masih menggunakan minyak tanah, dan inilah yang menjadi permasalahan. Oleh sebab itu sekarang pemerintah sedang menggalakkan program konversi dari minyak tanah ke gas. Selain karena persediaan minyak yang terus menipis, biaya untuk mengolahnya pun sangat mahal. Kemarin dosen saya mengatakan bahwa cost untuk mengolah minyak tanah sama dengan cost untuk avtur (bahan bakar pesawat terbang).
Permasalahan muncul ketika asumsi APBN kita mengenai harga minyak dunia melenceng jauh. dari yang awalnya hanya diperkirakan $60/barel, sekarang telah menembus level $127/barel. Dampak nyatanya adalah APBN kita harus menanggung jumlah subsidi yang semakin hari semakin besar. Jika hal ini terus dibiarkan maka APBN kita akan terus membengkak. Oleh sebab itu diperlukan suatu cara untuk menutup defisit APBN yang jumlahnya terbilang sangat besar. Diperlukan suatu cara agar alokasi subsidi (yang ternyata tidak dinikmati sebagian besar mayarakat) bisa dikurangi dan dapat dialihkan ke pos-pos yang sekiranya bisa lebih nyata meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kenaikan harga BBM sebesar 30 % menurut saya merupakan solusi terbaik dalam keadaan yang sangat mendesak seperti ini. Memang terdapat beberapa solusi lain seperti penerapan pajak progresif, pembatasan penggunaan BBM melalui smart card, pemotongan anggaran di setiap departemen secara ekstrem, dll. Namun, solusi tersebut hanya membantu sedikit APBN yang sudah sangat membengkak, dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Sedangkan keadaan semakin mendesak, dan APBN harus segera diselamatkan.
Sebenarnya rencana pemerintah menaikkan BBM saat ini bisa dibilang terlambat. Seandainya saja dari awal tahun ini pemerintah sudah menaikkan BBM sekitar 5% – 10%, maka dampak yang ditimbulkan dan jumlah kenaikan pun tidak harus sebesar sekarang. Kita lagi-lagi terjebak dalam keadaan yang sama seperti tahun 2005. Oleh sebab itu kenaikan harga BBM sekarang sudah menjadi harga mati. Menunda-nunda hanya akan memperparah keadaan. Bagaimana kalau besok pagi harga minyak tiba-tiba mencapai $200/barel?
Namun, harus ada tindakan follow-up yang jelas dari pemerintah setelah kenaikan harga BBM nanti. Pembatasan penggunaan BBM melalui smart card, pemotongan anggaran setiap departemen sampai sebesar 15%, konversi minyak ke gas, menerapkan pajak progresif, program padat karya, pembangunan insfratruktur demi meningkatnya lapangan kerja, serta penyaluran program BLT plus harus benar-benar direalisasikan secara nyata. Sejauh ini saya masih melihat solusi-solusi itu sangat relevan diterapkan sebagai pengalihan dari berkurangnya subsidi BBM. Dengan berkurangnya subsidi, maka akan ada margin dana yang bisa digunakan untuk program-program tersebut demi adanya pemerataan dan meningkatnya lapangan kerja. Namun, untuk realisasinya, kita tunggu saja dari pemerintah!!
Sekarang, coba kita kembalikan sisi humanis kita. Saya, anda, dan mungkin pemerintah sadar betul bahwa sehebat dan secermat apa pun perhitungan matematisnya, sedikit banyak kenaikan harga BBM pasti akan menimbulkan inflasi yang tercermin dari melonjaknya harga-harga, meningkatkan biaya transportasi, menimbulkan gejolak sosial, dan pada akhirnya memperburuk keadaan rakyat. Itu suatu konsekuensi yang tidak bisa kita hindari. Dan itulah mungkin realita bangsa ini yang harus kita hadapi bersama-sama. Menyalahkan satu sama lain tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Jangan berpikir parsial. Jangan memaksa pemerintah untuk selalu merasakan sulitnya menjadi rakyat, toh kita juga belum pernah merasakan sulitnya menjadi pemerintah.
Jadi, butuh pemikiran dan pandangan yang lebih dewasa dan bijaksana. Saya masih yakin bahwa masa depan bangsa Indonesia cerah. Bahkan sangat cerah. Mengapa kita tidak berpikir “Saya harus menjadi ahli kimia atau perminyakan yang handal sehingga nantinya kita tidak lagi harus membeli minyak dari luar”, atau “Saya harus menjadi akuntan yang handal sehingga bisa menciptakan sistem akuntabilitas yang baik di setiap departemen sehingga pengeluaran negara benar-benar tepat”, atau menjadi apapun yang setidaknya membantu bangsa ini bangkit dari keterpurukan. Percayalah, kalau kita mau memupuk mimpi dari sekarang, semua itu tidak pernah akan semu.
Terakhir, saya tidak akan pernah menyalahkan jika banyak rakyat kecil, sopir angkot, nelayan, pedagang, atau petani yang melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM. Saya paham hal itu, dan itu sangat wajar. Karena yang ada di benak mereka hanyalah bagaimana agar hidup tidak semakin sulit, bagaimana agar usaha bisa terus berjalan, dan segalanya berpihak pada mereka. Mereka tidak akan sampai memikirkan mengapa harga minyak dunia terus melonjak, bagaimana perhitungan matematis subsidi, atau membengkaknya APBN. Jadi sekali lagi, hal itu sangat wajar.
Tapi, please untuk mahasiswa, atau yang mengaku golongan intelektual, kalau masih saja demo di jalan dan melakukan penolakan terhadap kenaikan harga BBM tanpa alasan dan solusi yang jelas ditambah aksi-aksi anarkis, maka maaf, menurut saya hal tersebut tidak pantas dilakukan.
Sekali lagi, dengan berat hati,
“Saya setuju bahwa harga BBM harus naik”
Mengutip perkataan Pak Chatib Basri dua minggu lalu,
“Ini merupakan pilihan terbaik dari pilihan-pilihan yang terburuk”